KASAK KUSUK ISTILAH KECIL DAN NON KECIL YANG MEMBINGUNGKAN
Perdebatan terkait dengan nomenklatur kecil dan non-kecil tampaknya tidak juga bisa diselesaikan sampai dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 16/2018. Dilapangan masih saja terjadi pertentangan. Diksi dan kedisiplinan regulasi dalam penyebutan kecil dan non-kecil tidak juamenemukan kejelasan resonansi. Sehingga begitu sampai ketelinga akar rumput, yang sudah barang tentu berselisih kepentingan, menjadi bahan pertentangan.
Pengguna yang diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitment (PPK) berpendapat bahwa yang disebut Kecil dan Non-Kecil adalah merujuk pada kompleksitas paket pekerjaan (barang/jasa). Maka kemudian muncul pemahaman bahwa yang disebut Usaha Kecil adalah paket pekerjaan yang sederhana yang nilainya sampai dengan 2,5 Milyar (Versi Perpres 16/2018). Kebetulan regulasi-pun membatasi paket usaha kecil ini hanya dapat dimenangkan dan dikerjakan oleh pelaku/penyedia usaha kecil.
Berarti yang dimaksud paket pekerjaan usaha non-kecil, dari kacamata PPK, adalah pekerjaan yang tidak sederhana yang nilainya di atas 2,5 Milyar dimana oleh regulasi, Perpres 16/2018, tidak dilakukan pembatasan. Artinya tidak ada previllage hanya untuk pelaku usaha menengah atau besar saja namun bisa juga dimenangkan dan dikerjakan oleh pelaku usaha kecil selama dinilai memiliki kemampuan mengerjakan.
Disisi Pelaku Usaha atau Penyedia sebaliknya. Pelaku Usaha beranggapan kecil dan non-kecil adalah kualifikasi usaha bukan klasifikasi pekerjaan atau barang/jasa. Artinya jika disebut paket usaha kecil maka hanya bisa dikerjakan oleh pelaku usaha kecil. Sedangkan non-kecil merujuk pada kualifikasi menengah atau besar, sehingga jika disebut paket usaha non-kecil adalah syarat yang melekat pada perusahaan menengah dan besar yang menawar pada paket pekerjaan non-kecil. Jika pelaku usaha kecil menawar pada paket pekerjaan non-kecil tidak perlu memenuhi persyaratan bagi usaha non-kecil (menengah-besar).
Misal pada kasus memahami syarat Peraturan LKPP 9/2018 tentang Pedoman Pemilihan Penyedia tentang syarat kualifikasi keuangan yaitu SKN. Pada lampiran Perlem 9/2018 bagian 3.4.3 huruf a:
“Untuk Penyedia Non Kecil harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang disertai dengan laporan keuangan. Kemampuan Nyata adalah kemampuan penuh/keseluruhan Peserta saat penilaian kualifikasi meliputi kemampuan keuangan dan kemampuan permodalan untuk melaksanakan paket pekerjaan yang sedang/akan dikerjakan.
SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil.”
Pelaku usaha memahami ini ketentuan ini bahwa pelaku usaha kecil meskipun menawar pada paket usaha non kecil tidak perlu dipersyaratkan SKN. Karena SKN hanya dipersyaratkan apabila penyedia non kecil (menengah dan besar) yang menawar.
Jika membaca secara letterlek maka ketentuan 3.4.3.a tersebut berpihak pada kepentingan pelaku usaha dan mengganggu rasa keadilan PPK.
Tujuan dievaluasinya SKN adalah untuk memastikan penyedia pelaksana pekerjaan memiliki Kemampuan Keuangan minimal yang cukup untuk dapat dinyatakan sehat dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleksitasnya tidak sederhana (Non-Kecil). Perusahaan atau Pelaku Usaha berkualifikasi Menengah dan Besar (Non-Kecil) yang menawar pada paket pekerjaan dikenakan persyaratan yang sangat ketat terkait keuangan.
Menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi PPK jika menemukan pelaku usaha kualifikasi kecil yang menawar pada paket pekerjaan tidak sederhana (kompleks) justru tidak diwajibkan untuk dievaluasi kemampuan keuangannya. Apa yang menjamin pelaku usaha kecil memiliki kemampuan, dalam hal ini kemampuan keuangan, jika tidak melalui evaluasi SKN?
Tekanan dan beban yang sangat berat bagi PPK mempertanggungjawabkan pilihan sepakat dengan Pokja jika yang ditetapkan sebagai pemenang adalah pelaku usaha kecil. Sementara jika pekerjaan terjadi masalah, pilihan menetapkan pelaku usaha kecil, yang jelas-jelas tidak memiliki kemampuan keuangan, sebagai penyedia akan menjadi tanggungjawab hukum terkait penggunaan keuangan negara.
Untuk itu sangat diperlukan kebijaksanaan dalam memahami kebijakan. Karena toh jika PPK bermasalah hukum, pelaku usaha juga akan mendapatkan getahnya. Hampir semua permasalahan hukum, terutama tindak pidana korupsi, menyeret pelaku usaha didalamnya.
Beruntunglah untuk pekerjaan konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat jauh lebih tegas. Dimana Permenpupera 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi membatasi wilayah kualifikasi usaha dalam 3 area yaitu Kecil (K), Menengah (M) dan Besar (B). Dimana demarkasinya dibuat tegas bahwa untuk paket pekerjaan konstruksi Kecil hanya dapat dikerjakan oleh pelaku usaha kecil. Sedangkan paket pekerjaan konstruksi Menengah dan Besar hanya untuk Pelaku Usaha Menengah dan Besar saja. Sehingga kegalauan PPK Pekerjaan Konstruksi terobati.
Pasal 21.3 Permenpu 7/2019 menyebutkan Pemaketan Pekerjaan Konstruksi untuk:
- nilai HPS sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil;
- nilai HPS di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha menengah; atau
- nilai HPS di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha besar.
Filosofi Supply dan Supplier
Dalam kerangka pemahaman tersebut maka patutlah kiranya disosialisasikan teori umum dari manajemen pembelian dan rantai pasokan atau yang dikenal dengan Purchase and Supply Chain Management (PSCM) sebagai salah satu induk keilmuan pengadaan barang/jasa.
Secara sederhana dalam Management PSCM mengenal 2 sisi, yaitu sisi supply dan sisi supplier. Maka dari itu salah satu jargon utamanya terdapat metodologi analisa yang dipakai berupa Supply Positioning Model (Model Analisa tentang Posisi Kebutuhan Supply bagi organisasi) dan Supplier Perception Model (Model Analisa tentang Persepsi Supplier terhadap kebutuhan organisasi).
Untuk memetakan pemahaman dapat disusun beberapa karakteristik klasifikasi dalam bentuk tabel berikut ini :
Dengan sedikit pemetaan ini maka akan mudah dan konsisten dalam memahami perbedaan antara istilah Usaha Kecil dan Non-Kecil di wilayah Supply dan Supplier.
Misal memahami tentang SKN.
“Disebutkan untuk Penyedia Non Kecil harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN)”.
Melekatkan kata penyedia dengan non-kecil menjadi membingungkan karena sejatinya SKN adalah persyaratan dalam peraturan pengadaan barang/jasa (Perpres 16/2018) bukan peraturan tentang penyedia (UU 20/2008). Karena berada diwilayah barang/jasa maka membaca persyaratan SKN harusnya seperti ini:
Untuk “Barang/Jasa” Non Kecil maka penyedia harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN).
Dengan pemahaman seperti ini bahasa regulasi akan bersesuaian dengan bahasa teoritis. Apa yang dilakukan Permenpu 7/2019 jauh lebih clear, mengingat penyedia usaha kecil tidak dapat menawar pada paket menengah dan besar.
Pada diskursus yang lain misalnya tentang penggunaan KBKI dan KBLI. Banyak yang menanyakan kenapa kualifikasi teknis pengalaman berdasarkan KBKI sedangkan kualifikasi administratif yaitu klasifikasi dan sub klasifikasi menggunakan KBLI.
Dengan tabel pemetaan diatas dapat dengan mudah dipahami bahwa kualifkasi atau kompetensi teknis mengikat pada barang/jasa-nya. Untuk itu buku baku yang digunakan adalah klasifikasi barang/jasa-nya bukan klasifikasi lapangan usaha. Sedangkan untuk kompetensi administratif dilihat dari ijin usaha yang dimiliki. Ijin usaha didasarkan pada lapangan usaha.
Perdebatan semacam ini juga pernah terjadi pada era Perpres 54/2010 terkait persyaratan KD. Namun demikian bahasa regulasi pada Perpres 54/2010 sedikit lebih baik menjelaskannya. Pasal 19 ayat 1 huruf h. menyebutkan bahwa Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi .
Perpres 54/2010 tidak mencampur adukan kata “penyedia” dengan “kecil dan non-kecil” dalam pasal ini. Kata “penyedia” didekatkan dengn “kecil dan non-kecil” ketika menjelaskan kualifikasi usaha. Misal di pasal 39 ayat 1 huruf d tentang pengadaan langsung yang dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasausaha orang perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil.
Karena itulah di era Perpres 54/2010 lebih mudah menegaskan bahwa KD tetap dipersyaratkan bagi pelaku/penyedia usaha kecil yang coba-coba menawar pada paket usaha non-kecil. Dan akhirnya disepakati bahwa untuk paket usaha non-kecil, penyedia barang/jasa yang baru berdiri dan/atau tidak berpengalaman tidak dapat ditetapkan sebagai pemenang.
Tentu sangatlah diharapkan bahasa regulasi bersesuaian dengan dengan bahasa teori keilmuan. Hal ini agar tidak bertabrakan dengan realita dan dasar-dasar logika umum yang pada akhirnya memaksa saling menafsirkan. Beruntunglah SKN dan lainya diatur pada tataran peraturan teknis, sehingga tidak perlu merubah norma regulasi. Perlu terus dilakukan penyempurnaan ditataran peraturan teknis seperti peraturan lembaga atau Peraturan LKPP agar tidak terlalu jauh dari pemahaman teori dan logika dasar.
Untuk itu sebagai satu kesimpulan dapat disampaikan sebagai berikut :
- SKN adalah persyaratan yang melekat pada paket pekerjaan, bukan pada kualifikasi penyedia barang/jasa-nya.
- Jika ternyata regulasi berpemahaman penyedia barang/jasa usaha kecil tidak dipersyaratkan SKN untuk mengerjakan paket usaha non-kecil maka kegagalan pelaksanaan pekerjaan adalah tanggungjawab regulasi. Beralasan sekali jika ada PPK yang tidak berani mengambil risiko untuk menunjuk penyedia yang telah ditetapkan.
- Diperlukan penyempurnaan peraturan lembaga agar bisa lebih jelas memetakan istilah kecil dan non-kecil sesuai teori supply atau teori supplier.
Sumber: https://samsulramli.net/2019/04/06/istilah-kecil-dan-non-kecil-yang-membingungkan/